JAKARTA-Keuskupan Agung Jakarta mengkritik penggunaan istilah 'tahun politik' pada masa pemilihan kepala daerah serentak 2018 yang akan berlangsung pada 27 Juni ini dan pemilihan presiden tahun 2019. Penggunaan istilah itu dinilai merendahkan makna politik.
Uskup Keuskupan Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo mengaku pihaknya lebih memilih untuk menggunakan kata tahun persatuan dibandingkan dengan tahun politik. Hal tersebut juga dipilihnya setelah mengamati dan membandingkan masa pemilihan umum di negara-negara lain.
"Mengapa saya pribadi tidak setuju, tidak senang dengan istilah tahun politik tapi memilih tahun persatuan. Dengan menggunakan istilah tahun politik, kita merendahkan istilah politik," ujarnya saat konferensi pers di Gereja Katedral Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (1/4).
Ignatius juga mengakui kritik itu disampaikan melihat maraknya operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada sejumlah pejabat negara yang hendak mengikuti Pilkada serentak.
Fenomena itu menyebabkan makna politik menjadi negatif karena digunakan hanya untuk kepentingan kekuasaan tanpa lagi bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.
"Hal yang terjadi hanya siapa yang mau jadi bupati, gubernur dan apa yang mewarnai belakangan ini? Suap, OTT (operasi tangkap tangan) itukah yang disebut tahun politik?," tuturnya.
Menurut dia, politik seharusnya memiliki konotasi yang positif, yakni mencapai kekuasaan dengan cara elegan untuk kepentingan bersama.
Maka itu, Ignatius mengatakan calon-calon peserta Pilkada sudah seharusnya memaknai tahun politik dan kekuasaan dengan Pancasila. "Kalau tidak diresapi dengan Pancasila jadinya seperti ini," ucapnya.
Ignatius menyebutkan ada tiga hal yang dapat menghancurkan keutuhan negeri, yakni uang, kekuasaan, dan gengsi.
"Ada berapa yang tertangkap operasi tangkap tangan? Mengerikan, karena apa? Pancasila hanya diucapkan tapi tidak pernah diterjemahkan (hanya) gagasan, tidak diterjemahkan gerakan (perbuatan). Kalau diterjemahkan gerakan orang tidak akan tergoda untuk mencapai hal seperti itu," jelas Ignatius.
Ignatius mencontohkan menyembah berhala di era modern ini bukan lagi menyembah batu atau patung, melainkan pada keserakahan seseorang untuk mencapai hal yang diinginkannya.
Pemuka Agama Tak Bicara Sosok Penguasa
Ignatius memberikan imbauan kepada masyarakat untuk memilih waktu rakyat sesuai hati nurani dan melihat rekam jejak para calon kepala daerah yang hendak dipilih nantinya.
Meski demikian, dia memastikan pemuka agama Katolik tidak akan membicarakan perihal sosok yang harus dipilih oleh umat Katolik. Dia mengatakan hal itu bukan tugas pemuka agama adalah sebagai pemersatu.
"Pilihlah dengan cerdas, sesuai dengan suara hati tentu dengan analisa melihat track recordnya seperti apa. Gereja Katolik tidak akan pernah berkata saya memilih A, langsung saya kartu kuning karena tidak boleh. Fungsi kami menjaga persatuan," tuturnya. (cnn)