Jumat, 26 April 2024
Follow:
Home
Cut Meutia, Pahlawan dengan Tiga Kisah Cinta
Jumat, 17/Agustus/2018 - 20:29:18 WIB
  Pahlawan asal Aceh, Cut Meutia. (Dok. Kementrian Sosial Direktorat Kepahlawanan)  
TERKAIT:
   
 
JAKARTA - Cut Nyak Meutia merupakan satu dari sedikit perempuan peracik strategi ulung dalam perlawanan menghadapi penjajah Belanda. Bahkan jiwa petarungnya menuntun dia pada tiga kisah cinta yang tragis.

Cut Meutia lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, tahun 1870 dari keluarga terhormat. Ayahnya adalah seorang Uleebalang (kepala pemerintahan daerah), Teuku Ben Daud Pirak.

Meutia satu-satunya puteri dari lima bersaudara. Sejak kecil ia dibesarkan dengan ajaran agama Islam yang kuat, berprinsip amar ma'ruf nahi munkar, tak menyukai kemungkaran dan penindasan.

Penulis asal Belanda, HC. Zentgraaff, mendeskripsikannya sebagai wantia berparas rupawan sehingga "namanya bersesuaian dengan penampilannya yang seperti mutiara".

Meutia menikah tiga kali. Pernikahan pertama Cut Meutia terjadi dengan Teuku Syamsarif yang bergelar Teuku Chik Bintara. Pernikahan atas perjodohan orang tuanya itu tidak berlangsung lama karena Meutia merasa tak ada kecocokan.

Syamsarif dianggapnya punya watak lemah dan cenderung bersahabat dengan Belanda. Padahal, Meutia berjiwa sebaliknya.

Pasca perpisahan dengan Syamsarif, Meutia menikah dengan adik Syamsarif, yaitu Teuku Chik Muhammad atau dikenal dengan Teuku Chik Tunong. Kali ini, Meutia benar-benar jatuh hati pada Tunong yang memiliki prinsip hidup serupa dengannya.

"Awal perlawanan Cut Meutia sekitar 1901 ketika Sultan Aceh, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah melawan Belanda hingga pedalaman Aceh. Dia berjuang bersama suaminya Teuku Tunong dan berjuang di daerah Meunasah Meurandeh paya," kata Gunawan.

Tunong saat itu menjadi komandan di Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang). Sementara Meutia membantu suaminya untuk membuat taktik-taktik perang gerilya yang membuat Belanda kocar-kacir.

Duet Tunong dan Meutia membuat kompeni gerah karena keduanya sanggup mencegat patroli pasukan Belanda dan bahkan menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie meski tanpa senjata mumpuni. Pasukan tradisional itu hanya bermodalkan nyali dan rencong.

Rencong atau dalam Bahasa Aceh Rintjong adalah senjata tradisional rakyat Aceh. Tak cuma senjata, Rencong juga merupakan simbol identitas diri, keberanian, dan ketangguhan warga Aceh.

Agustus 1902, dengan hanya bermodal rencong, pasukan Teuku Tunong mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie dan melumpuhkannya serta merampas 42 pucuk senapan.

Setahun kemudian pada 26 Januari 1905, Belanda mengamuk karena salah satu prajuritnya kembali gugur saat berpatroli. Kemarahan itu akhirnya membuat Belanda lebih intensif memburu Tunong dan pasukannya.

Merelakan Istri

Tunong tertangkap dan dieksekusi tembak mati pada Maret 1905 di tepi pantai Lhokseumawe. Tubuhnya dimakamkan di kompleks Masjid Mon Geudong, tidak jauh dari Lhokseumawe.

Ia ditembak mati hanya berselang beberapa waktu setelah Cut Meutia melahirkan dua anak kembar yang kemudian meninggal. Saat itu, Meutia lumpuh dan sakit parah.

Namun, kasih sayang dan perjuangan antara Tunong dan Meutia tak pernah mati. Sebelum meninggal, Tunong sempat meninggalkan wasiat pada seorang panglima yang menjadi teman seperjuangannya yaitu Pang Nanggroe.

Ismail Yakub, dalam bukunya 'Cut Meutia' menulis bahwa Tunong menginginkan Pang Nanggroe menikahi istrinya dan melanjutkan jihad fisabilillah mereka melawan penjajah Belanda.

"Sudah tiba masanya aku ini tidak terlepas lagi dari tuntutan hukuman. Pada saatnya hari perpisahan kita sudah dekat, oleh sebab itu, peliharalah anakku, aku izinkan istriku kawin dengan engkau dan teruskanlah perjuangan," tulis Ismail.

Tak ada tanggal pasti pernikahan Cut Meutia dan Pang Nanggroe. Namun, diperkirakan keduanya menikah pada 1907.

Eksekusi terhadap Tunong memicu gejolak di hati para pemimpin Aceh dan juga rakat Aceh karena Belanda dianggap menjatuhkan hukuman tanpa mendengar kesaksian yang meringankan Tunong.

Cut Meutia bersama anaknya Teuku Raja Sabi dan Pang Nanggroe kembali masuk ke hutan untuk melanjutkan perjuangan bersama pasukan.

Penyerangan pertama keduanya langsung dilakukan di hulu Krueng Jambo Aye yang merupakan hutan liar.

Pasukan mereka menghadang pasukan Belanda yang mengawal para pekerja kereta api pada 6 Mei 1907. Serdadu-serdadu Belanda tewas dan mengalami luka-luka. Pasukan Aceh juga dapat merebut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru serta amunisi.

Pertempuran demi pertempuran dihadapi pasukan Nanggroe-Meutia pada 15 Juni 1907 di pos di Keude Bawang (Idi), pada 1910 di rawa-rawa Jambo Aye, pada 30 Juli 1910 di daerah Bukit Hague dan Paya Surien, hingga pada Agustus 1910 terjadi penyerbuan pasukan Belanda di Matang Raya.

Dalam penyerbuan terakhir itu, banyak teman setia Pang Nanggroe-Cut Meutia gugur.

Pantang Mundur

Ajal akhirnya kembali memisahkan Cut Meutia dengan pasangannya, Pang Nanggroe. Pada 25 September 1910, Nanggroe tewas dalam pertempuran dahsyat di Buket Hague, daerah Rawa dekat Paya Cicem.

Sejumlah pejuang menyerahkan diri. Sementara, Cut Meutia dan anaknya melarikan diri. Ia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabi, yang saat itu berusia sebelas tahun, di dalam hutan Pasai.

Pada tanggal 24 Oktober 1910, Belanda melakukan pengepungan. Tepat keesokan harinya, pertempuran besar terjadi. Serdadu Belanda yang memiliki persenjataan lengkap menyerang pasukan Cut Meutia yang masih hanya bermodalkan rencong di tangan.

Namun keterbatasan senjata itu tak menyurutkan nyali Cut Meutia. Sayangnya, di pertempuran itu Cut Meutia gugur karena ditembus tiga peluru sekaligus yang mengenai kepala dan dadanya.

Dia wafat bersama beberapa pejuang dan ulama lainnya seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh. Sebelum wafat, Cut Meutia sempat menitipkan puteranya kepada teuku Syech Buwah untuk diasuh dan dijaga.

Cut Meutia di kemudian hari diangkat Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964. Namanya tak hanya dijadikan jalan-jalan di perkotaan, tetapi juga menjadi nama salah satu masjid peninggalan Belanda di Menteng, Jakarta Pusat.

Pada 2016, Cut Meutia ditetapkan Bank Indonesia sebagai salah satu pahlawan nasional yang sosoknya ditampilkan dalam uang kertas rupiah. Kini, wajahnya pun menghiasi pecahan Rp1.000. **/sumber: CNNIndonesia.com

 

 
Berita Terbaru >>
Jokowi Tegaskan tak ada Tim Transisi untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran
Komisi II DPR: Pemerintah Segera Selesaikan Pembayaran Lahan Tol Pekanbaru-Padang
Alek Kurniawan Resmi Sandang Gelar Doktor Ilmu Pemerintahan IPDN
Pemerintah Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online
Bandara SSK II Pekanbaru Catat Kenaikan Penumpang Signifikan Musim Lebaran 2024
Atasi Kenaikan Debit Air, PLTA Koto Panjang Buka Spillway Gate
Serapan Hanya 20 Persen, Pj Wako Minta OPD Tingkatkan Realisasi Anggaran
Kurir Sabu 23,8 Kg Ditangkap di Medan, Pernah Dipenjara 2 Kali
Diduga Korupsi Bansos Rp 1,7 Miliar Mantan Bupati Bone Bolango Ditahan
Bersinergi dengan Pemkab Pelalawan, Bupati Zukri Terima PJS Award 2024
 


Home

Redaksi | Pedoman Media Siber | Indeks Berita
© 2012-2022 PT Media Klik Riau, All rights reserved.
Comments & suggestions please email : redaksi.klikriau@gmail.com