TERIK panas masih serasa membakar kulit, meski sore mulai turun. Di jalanan suara kendaraan memekakkan telinga. Hingar bingar, tanda hidup terus berjalan. Tapi tidak di sini, di sebuah panti yang persis terletak di pinggir jalan utana Kota Pekanbaru. Terik dan bising lenyap, senyap, dalam sepi, dalam nyeri, dalam rindu tak bertepi.
Wajah-wajah tua tanpa ekspresi, menatap, lebih banyak nanap, dari bilik-bilik mereka, ke luar ruangan, seolah menanti, menunggu, tetapi yang ada hanya ruang kosong, hampa. Tembok beku, dingin, tanpa hati, tanpa jiwa.
Pada sebagian bilik ada bau pesing menyengat hidung, berbaur dengan bau keringat asam penghuninya. Di bilik lain ada yang sedang meracau, menyebut apa saja, memaki apa saja, sesekali mengeja sebuah nama dan berakhir dengan kata, anak ku. Lalu diam, hening dan sudut matanya, perempuan yang meracau tadi, mengeluarkan air mata.
"Nenek ini sering meracau soal masa lalunya yang pahit. Dia punya anak, tinggal di Bangkinang, Kampar, tapi tak pernah datang," kata pramulansia yang bertugas menjaga dan melayani para lansia ini.
Perempuan tua itu, tubuhnya ringkih. Seperti hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kakinya mengecil dan susah digerakan. Tangannya terikat selendang. Meringkuk di kasur busa yang tipis.
"Kami terpaksa mengikat tangannya. Kalau tidak dia terus membuka pampersnya, lalu menebarkan pipis dan berak dimana-mana," kata pramulansia itu.
Kemudian ada lagi ketukan-ketukan dari dalam salah satu bilik, diiringi suara lirih, "buka...buka..." makin lama ketukan itu makin keras. Ketika pintu dibuka seorang perempuan tua coba menghambur ke luar, pakaiannya setengah atas saja. Dengan sigap pramulansia memasangkan kain perempuan tua itu, mendorongnya pelan untuk kembali ke tempat tidur dan mengunci pintu dari luar. Kembali terdengar ketukan dari dalam dan suara lirih, buka...buka.
"Nenek ini selalu mau lari kalau pintu dibuka, terpaksa kami kurung," kata pramulansia.
Ya, mungkin nenek ini rindu rumah, rindu anak, rindu kasih keluarga dan dia ingin pulang. Tapi siapa peduli? Anaknya pun tidak. Raganya ringkih, tapi hati dan jiwanya masih hidup. Hanya dunia telah melemparnya ke sini, agar dia bisa tetap hidup.
Terus berjalan ke sisi lain dari panti jompo ini, memasuki rumah untuk lansia pria, ngilu menyapa nurani. Sedemikian tiada artikah kehidupan setelah muda habis dimakan zaman?
Mata tertumbuk pada sosok-sosok tak berdaya di atas tempat tidur kecil mereka. Mau amis pesing menyergap hidung. Mata-mata kosong hampa, tanpa reaksi, tanpa tawa, jadi jawaban kala mereka disapa.
Dulu, dari posturnya, pastilah mereka lelaki gagah perkasa. Kini hanya seonggok daging, seolah tanpa makna. Anak cucu dan keluarga, ada, tapi telah melupakan mereka.
Berteman sesama senasib di ruang ini, mereka lebih banyak diam, menunggu waktu, yang entah kapan akan berakhir untuk mereka. Sungguh, mereka butuh hati, bukan sebuah tempat tanpa jiwa. Tapi hati siapa?***diamanda (bersambung)