PEKANBARU (KLIRIAU.COM) - Di balik predikat Kepulauan Meranti sebagai penghasil sagu terbesar di Indonesia, tersimpan ironi pahit yang jarang terekspose. Dulu, sagu menjadi sumber utama penghidupan bagi sekitar 20 persen penduduk setempat. Namun, kini sebagian besar lahan sagu telah dikuasai pengusaha besar, meninggalkan masyarakat lokal sebagai penonton di tanah sendiri.
Padahal, kualitas sagu Meranti yang dikenal dunia hingga masuk dalam agenda ketahanan pangan nasional Presiden Prabowo Subianto. Sayangnya, manfaat besar ini semakin sulit dirasakan masyarakat setempat.
"Sagu Meranti tak lagi terasa manis. Jangankan menikmati, melihat saja pun tidak bisa," ujar Khairul Zainal, tokoh masyarakat Meranti, ketika ditemui di Pekanbaru pada Ahad (27/10/2024).
Khairul mengenang masa lalu ketika perkebunan sagu bukan hanya kebanggaan tetapi juga harapan bagi masyarakat. Kini, monopoli oleh segelintir konglomerat telah mengubah sagu menjadi komoditas yang sulit diakses.
"Dulu, perkebunan sagu itu milik pribumi. Sekarang satu per satu lahan sudah dikuasai orang asing. Masyarakat tak lagi bisa berbuat apa-apa. Bahan baku saja sudah sulit didapat," katanya, menggambarkan pergeseran yang membuat pengusaha besar lebih memilih ekspor ke negara-negara seperti Malaysia dan Taiwan.
Mati Suri di Tengah KemiskinanSepanjang Kepulauan Meranti, banyak kilang sagu yang dulu menjadi sumber penghasilan utama kini mati suri. Data menunjukkan, hanya sekitar 1 dari 10 pengusaha lokal yang bertahan di tengah tekanan bisnis taipan besar. Imbasnya, lapangan kerja semakin langka, memaksa masyarakat merantau menjadi buruh di negeri tetangga.
"Lapangan kerja semakin sulit, sehingga banyak orang harus pergi ke luar negeri. Miris melihatnya," kata Khairul prihatin. Bagi Khairul, ini adalah bukti tata kelola dan regulasi yang kurang berpihak kepada rakyat.
Meski demikian, ia masih menaruh harapan pada pemerintah daerah. Menurutnya, dibutuhkan regulasi yang adil dalam pembagian lahan, serta kebijakan tata niaga yang memihak masyarakat. "Berikan keadilan dalam penguasaan aset lahan di sini. Masyarakat harus mendapatkan kembali hak-haknya. Atur juga tata niaga agar masyarakat tak terus terpuruk," tegasnya.
Menjelang Pilkada 2024, Khairul menaruh harapan besar pada pasangan calon Asmar dan Muzamil. "Saya berharap mereka bisa membawa perubahan. Jika keduanya kompak, saya yakin masalah ini bisa diatasi," tambahnya.
Seruan Pemberantasan Mafia SaguTidak hanya masyarakat lokal, seruan perubahan juga datang dari H Hermansyah, Ketua DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Hermansyah menuntut aparat hukum untuk menindak para "mafia sagu" yang merugikan ekonomi Meranti.
"Tangkap dan hukum para mafia ini. Mereka sudah menghancurkan ekonomi masyarakat. Untuk menjadi buruh pun sekarang sulit," cetusnya. Bagi Hermansyah, situasi ini seperti ayam yang kelaparan di lumbung padi; sagu yang melimpah di Meranti tidak lagi menjadi berkah, tetapi ironi bagi penduduk yang dulu menggantungkan hidup dari tanaman ini.
Harapan pada Ketegasan PemerintahKhairul dan Hermansyah sama-sama berharap pemerintah menunjukkan ketegasan dalam menyelesaikan persoalan ini. Mereka ingin pemerintah hadir dan memimpin perlawanan terhadap ketidakadilan dalam tata kelola sagu, agar Meranti kembali menjadi tanah yang manis bagi warganya.
Masyarakat Kepulauan Meranti kini menanti, berharap, dan berdoa agar sagu yang dulu menjadi simbol kemakmuran tak lagi menjadi kenangan pahit, tetapi kembali menjadi sumber penghidupan seperti sedia kala.(*)