KLIKRIAU.COM,JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menilai aksi demonstrasi besar yang melanda Indonesia belakangan ini merupakan akumulasi dari kebijakan fiskal dan moneter yang keliru. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu (10/9).
"Yang bapak-bapak rasakan adalah demo kemarin terjadi karena tekanan berkepanjangan di ekonomi, akibat kesalahan kebijakan fiskal dan moneter, yang sebetulnya kita kuasai," ujar Purbaya.
Ia mempertanyakan peran Komisi XI DPR RI serta pemerintah sebelumnya dalam mengatasi persoalan fiskal. Menurutnya, rapat panjang dengan Menkeu sebelumnya, Sri Mulyani, seharusnya sudah bisa menghasilkan solusi.
"Yang jadi pertanyaan saya, di sini Komisi XI rapat dengan menteri keuangan berapa ratus hari dalam setahun, kenapa tidak pernah mempertanyakan itu? Sekarang saya datang ke sini, tiba-tiba pertanyaan banyak sekali, yang seharusnya sudah putus pada waktu itu," tegasnya.
Meski demikian, Purbaya berjanji segera melakukan perbaikan. "Ke depan yang saya lakukan adalah memperbaiki kesalahan fiskal dan moneter, sebelum mengubah yang lain. Struktural lain kita bisa ubah, tapi quick win-nya di situ. Saya akan balik kondisi yang memburuk karena langkah kita sendiri," katanya.
Ia menekankan percepatan belanja anggaran sebagai langkah awal. "Sembilan puluh persen perekonomian kita ditopang permintaan domestik. Maka belanja anggaran harus digenjot," jelasnya.
Purbaya menegaskan dirinya siap melaksanakan mandat Presiden Prabowo Subianto. "Mengelola perekonomian bukan barang baru bagi saya. Presiden tidak salah memilih saya sebagai menteri keuangan," ungkapnya.
Ia juga menyinggung krisis moneter 1998 sebagai pelajaran berharga. "Ketika 1997-1998 negara yang mulai diserang adalah Thailand, Korea, dan lain-lain, kenapa yang paling terpuruk kita? Saya pelajari betul apa yang terjadi waktu itu," ucapnya.
Menurutnya, kebijakan Bank Indonesia kala itu justru memperparah krisis. "Kita melakukan kesalahan fatal. BI menaikkan bunga sampai 60 persen lebih untuk menjaga rupiah, tapi di belakangnya kita mencetak uang, tumbuh 100 persen. Jadi kebijakannya kacau. Kalau kebijakan kacau, yang keluar adalah setan-setan dari kebijakan itu," bebernya.
Ia menambahkan, bunga tinggi menghancurkan sektor riil, sementara jumlah uang beredar justru menyerang nilai tukar rupiah. "Kita membiayai kehancuran ekonomi kita sendiri tanpa sadar. Bukan karena ekonom waktu itu bodoh, tapi karena kita belum pernah menghadapi situasi seperti itu," pungkasnya.(*)