KLIKRIAU.COM,BENGKALIS – Suasana Aula Kantor Desa Temiang, Kabupaten Bengkalis, tampak ramai pada pelaksanaan Workshop Agroforestry Budidaya Tumpang Sari Kopi di Kebun Sawit yang digelar oleh Yayasan Gambut bekerja sama dengan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP). Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber dari kalangan akademisi dan praktisi yang mengupas potensi, tantangan, hingga tata niaga kopi liberika di lahan sawit.
Meski datang dari latar belakang berbeda, keempat narasumber sepakat bahwa tumpang sari kopi di kebun sawit bukan sekadar inovasi pertanian, melainkan strategi nyata menuju kemandirian ekonomi petani.
Teknis Budidaya Kopi Liberika
Pembicara pertama, Dr. M Amrul Khoiri SP., M.P., C.APO, menjelaskan pentingnya pemilihan jenis kopi yang sesuai dengan karakter lahan. “Mengapa Liberika? Karena jenis kopi ini bisa hidup di lahan gambut,” katanya.
Ia menjelaskan tahapan budidaya kopi liberika mulai dari penyemaian, pembibitan hingga penanaman. “Langkah awal budidaya kopi ini sangat penting diperhatikan agar tanaman bisa tumbuh baik dan menghasilkan biji kopi yang maksimal,” ujarnya.
Menurutnya, faktor penting lainnya adalah pemupukan, pemangkasan, dan perawatan pascatanam. Bila pertumbuhan baik, tanaman kopi liberika bisa mulai berbuah pada usia tiga tahun.
Tantangan Penyakit dan Solusi Pencegahan
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau, Puan Habibah SP., MP, menyoroti tantangan serius berupa penyakit jamur dan bakteri yang dapat menurunkan produktivitas kopi hingga 70 persen. “Penyakit kopi disebabkan jamur yang menimbulkan bercak kuning dan membuat tanaman mati perlahan, juga oleh bakteri yang menyebabkan perubahan warna cepat,” jelasnya.
Ia menegaskan pentingnya sanitasi kebun dan pemangkasan rutin untuk mencegah penyebaran penyakit. “Harus dilakukan dengan disiplin memangkas bagian yang terinfeksi, membakarnya, serta melakukan penyemprotan pestisida. Pengendalian hayati dan sanitasi kebun menjadi kunci sukses budidaya kopi di lahan sawit,” pungkas Puan.
Integrasi Teknis dan PascapanenSesi kedua diisi oleh Joni Irawan, S.P., M.Si, dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau, yang menekankan pentingnya integrasi sistem tumpang sari antara kopi dan sawit. “Keberhasilan tumpang sari tidak hanya ditentukan oleh keberanian menanam, tetapi juga oleh ketelitian dalam perawatan,” ujarnya.
Joni menjelaskan, tanaman kopi membutuhkan naungan agar tumbuh optimal, sehingga kebun sawit menjadi lokasi ideal. “Caranya dengan membuat jarak tanam. Masing-masing gawangan sawit cukup ditanami satu pohon kopi agar mudah dirawat,” terangnya.
Ia menambahkan, pemangkasan cabang tua, pembuangan ranting terserang penyakit, dan pengaturan cahaya merupakan langkah penting menjaga produktivitas. “Tanaman kopi mulai berbuah pada umur 2,5 hingga 3 tahun, dan pada umur 3,5 tahun sudah bisa panen perdana,” tambahnya.
Tata Niaga Berbasis PetaniSesi terakhir diisi oleh Hisam Setiawan, pendiri Yayasan Gambut, yang membahas peluang ekonomi dan sistem tata niaga kopi berbasis kelompok masyarakat. “Selama ini petani sering dikendalikan tengkulak. Padahal mereka bisa mengelola sendiri hasilnya lewat koperasi,” ujarnya.
Menurutnya, koperasi petani menjadi solusi agar nilai tambah kopi bisa dikelola oleh masyarakat sendiri. “Dengan model ini, mereka bisa menentukan harga, menjaga kualitas, dan membangun kemandirian ekonomi desa,” jelas Hisam.
Ia optimistis permintaan kopi liberika yang terus meningkat menjadi peluang besar bagi petani di Riau. “Kopi bukan hanya tanaman tambahan di kebun sawit, tapi simbol perubahan — dari ketergantungan menuju kemandirian,” tegasnya.
Workshop hari pertama ditutup dengan penyerahan sertifikat kepada narasumber serta foto bersama seluruh peserta. Kegiatan ini menjadi langkah nyata untuk mengubah paradigma petani sawit menuju sistem pertanian terpadu yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing. (*)